PT. NTF Diduga Lakukan Eksploitasi Ribuan Tenaga Kerja
PT NTF adalah sentral produksi pisang di Provinsi
Lampung, tepatnya di perbatasan Taman Nasional Way Kambas, Kecamatan Labuhan Ratu,
Lampung Timur. Dengan menyerap pekerja hingga
6000 orang yang terbagi untuk produksi pisang, nanas, dan buah-buahan segar
lainnya seperti jambu biji, nanas, pepaya, hingga buah naga.
Luas perkebunan yang dikelola PT Nusantara Tropical Farm
(NTF) ini
mencapai 3.757,2 hektar, di mana 1.754,6 hektar dikhususnya untuk perkebunan
pisang.
NTF dibangun tahun 1992 yang awalnya bernama Nusantara
Tropical Fruit. Kemudian tahun 2011, ada proses perubahan di HGU (Hak Guna
Usaha) menjadi Nusantara Tropical Farm, karena ada pengembangan penggemukan
sapi di akhir tahun 2012 hingga mencapai 7.000 ekor.
Ribuan tenaga kerja umumnya takut untuk protes, karena takut dipecat dan kehilangan pekerjaan
. Beberapa karyawan yang protes mendapatkan intimidasi dan diskriminasi, bahkan
SPSI Daerah Lampung Timur tak pedulikan nasib ribuan tenaga kerja itu.
Informasi lain menyebutkan kuat dugaan kongkalikong manajemen lokal, melibatkan manajer hingga mandor.
Hal itu terungkap,
setelah Tim 12 tenaga kerja PT NTF,
sub bidang nanas, melayangkan protes,
dan meminta perusahaan membayarkan kelebihan kerja, terhitung sejak
tahun 2015 hingga 2017. Tim managemen
perusahaan sempat menanggapi gugatan tim12 atas nama sekitar 2000an tenaga
kerja, di PT NTF sub bagian nanas itu.
"Ya, memang
sejak 18 Desember 2017, kami melaporkan kasus itu ke PC SPSI Lampung Timur, dan
Disnaker Lampung Timur. Tapi kami tetap
harus berjuang sendiri. Tim 12 menyatakan siap berjuang, pekerja lain takut tampil, karena takut di pecat, " kata Taufik
Ansori, didampingi Rahmat Syahar, sebagaimana dilansir dari sinarlampung.com,
Selasa (13/2).
Taufik menyatakan, mereka Tim 12, mewakili 2000 pekerja
harian lepas di PT. NTF, di bagian Nanas
Segar yang berada dibawah naungan kerja PT. NTF periode tahun 2016-2017.
"Ada kekurangan upah kami yang tidak dibayar oleh
pihak perusahaan. Kekurangan tersebut terdapat pada upah kerja pada hari keenam
(6) selama dua (2) jam dengan hitungan jam keenam dan jam ke tujuh (7) yang
seharusnya sudah termasuk dalam hitungan lembur tetapi dibayar dengan hitungan
jam kerja blasa," kata Taufik.
Lalu upah pada hari ke tuluh (7) yang seharusnya
dibayar dengan hitungan lembur karna bekerja pada hari libur Mingguan setelah
bekerja selama enam (6) hari 140 jam dalam satu (1) Minggu. dan semua itu
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 pasal 8.
"Tetapi yang kami terima baru upah hari kerja
biasa, tidak dihitung lembur. Kami mohon maaf terlambat melaporkan permasalahan
yang terjadi pada kami selaku pekerja harian lepas di bagian Nanas Segar PT.
NTF. Selama ini kami tidak tau bahwa di PT. NTF Sudah ada SPSI tempat kami
mengadukan segala permasalahan yang terjadi pada kami selama ini,"
katanya.
Menurutnya,
mereka juga baru memahami bahwa ada Undang-undang ataupun Peraturan
Pemerintah yang mengatur tentang Pekerja atau Buruh seperti mereka.
"Kami baru tahu jika ada aturan ada undang-undang.
Selama ini kami banyak mencari tahu, dan banyak menemukan kejanggalan manajemen
PT NTF di Lampung, yang go international, tapi manajemennya tradisional," katanya
sambil menunjukkan bukti PKB, dan
dokumen lainnya.
Atas kekurangan upah pekerjaan itu, pihak PT NTF diperkirakan harus membayar Rp4
miliar pertahun sejak tahun 2015, dengan hitungan satu tahun hanya tujuh bulan,
hitungan perminggu, sesuai dengan nilai
upah harian Rp76.345,-/hari.
"Tahun 2016 upah Rp65 ribu perhari. Hitung tiap
minggu saja kalikan tujuh bulan pertahun masa panen. Kami sudah banyak dengar
cerita dari para mantan pekerja, dan mantan
mandor tentang kondisi manajemen. Tapi
kami hanya ingin upah para pekerja dibayarkan,
masa iya tega keringat pekerja itu ditilep, " katanya kesal.
Rahmat Syahar menceritakan, atas pengaduan itu, pihaknya TIM 12 sudah mendapat surat
panggilan pihak PT NTF untuk melakukan pertemuan terhitung bulan Januari 2018.
"Panggilan pertama kami tidak hadir karena
tanggalnya aneh, tanggal surat 30
Desember 2017, tapi diundang pertemuan tanggal 4 Januari 2017, dan diminta bawa
bukti-bukti upah," kata Rahmat.
Lalu, ujar Rahmat, panggilan pertemuan ke II, di ruang HRD, tapi tidak lagi dengan kop
surat NTF, tapi menggunakan Kop PT. GGP atau PT. Great Giant Pineapple, tanggal 11 Januari
2018, ditanda tangani Dedi A Effendie Kabag Hubungan Industrial, dan administrasi Sujarwanto.
"Dalam pertemuan itu pihak perusahaan bersedia
membayar. Tapi sekarang ada lagi
undangan pertemuan ketiga pada Rabu 24 Januari mendatang, ditandatangani HP
Operation Ass Manager, Fitriyanti, dalam
surat itu kami juga harus membawa bukti-bukti atas masalah itu," katanya.
Rahmat menyatakan bahwa mereka juga sudah mengirimkan
surat tembusan terkait masalah itu hingga ke Polda Lampung, tapi hingga kini belum mendapat tanggapan.
"Kami sudah banyak dapat kabar mulai dari akan dipidanakan,
pemecatan, hingga tawaran dibayarkan
upah hanya untuk Tim 12 saja. Ini masalah nasib pekerja, bukan kami saja. Saya sendiri prihatin, perusahaan yang kelas international, tapi dibawahnya seperti ini. Pemda dan wakil
rakyat, mana pedulikan nasib kami, " ucapnya.
Terkait tenaga kerja,
dalam pasal 1 angka (21) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh atau beberapa Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua
belah pihak.
Dikonfirmasi di Kantor Pusat Jakarta, di call (021) 59898999, diterima Ny Lia, yang
menyatakan bahwa kantor di Jakarta ini hanya bagian pemasaran. Jika terkait
pemberitaan, dan PT NTF bisa langsung ke
PT yang di Lampung. "Disini hanya pemasaran, silahkan hubungi NTF di Lampung," kata
Ny Lia, memberikan telepon di Lampung.
Dihubungi dua nomor kantor PT NTF di Lampung juga tidak
mendapat jawaban. manager HRD PT NTF,
Aris Wahyudi, yang dihubungi via phone juga belum menerima, meski dalam
keadaan akrif. (jun/rls)